Tuesday, October 7, 2014

MENCULIK YANG DIHALALKAN

Pulau Lombok dengan ciri khas tersendiri menjadi daya tarik setiap orang yang mendengar cerita tentangnya. Sepanjang ruas jalan, perkampungan, dusun-dusun dan setiap wilayahnya bertebaran masjid-masjid yang indah serta menawan. Pendatang terheran-heran dengan begitu semangatnya masyarakat membangun masjid yang dimana ditempat lain masjid memiliki jarak berjauhan. Inilah ciri khas Lombok dengan semangat berbudaya dan religius. Uniknya lagi, ketika seorang laki-laki hendak ingin menikahi perempuan maka prosesinya sangat menarik untuk ditelisik lebih jauh. Bagaimana tidak ?, laki-laki yang sudah siap menikah diperbolehkan oleh adat untuk menculik anak gadis calon istrinya. Menculik disini artinya calon istri diajak ke rumah keluarga calon suami dan tidak diantar pulang hingga  larut malam (untuk jam tergantung kesepakatan masing-masing desa) tampa ada unsur paksaan.
1.      Merariq dan Latar Sejarah Tradisinya
Dalam adat Sasak pernikahan sering disebut dengan merariq. Secara etimologis kata merariq diambil dari kata “lari”, berlari. Merariqan berarti melai’ang artinya melarikan. Kawin lari, adalah sistem adat pernikahan yang masih diterapkan di Lombok. Kawin lari dalam bahasa Sasak disebut merariq
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj-uBGqz6jZLXL400ev4Z0QBUArCiYD4YDhedbaGvKDz8Chzue1G521SE2ElhEuKillUxWqE4wachw0OaQINpuw7FlnebF1ergUsOhNP5UCnHUASNWYITHE76ArwiKIa0SizoEnkSC8loY/s320/nyongkolan.jpgSecara terminologis, merariq mengandung dua arti. Pertama, lari. Ini adalah arti yang sebenarnya. Kedua, keseluruhan pelaksanaan perkawinan menurut adat Sasak. Pelarian merupakan tindakan nyata untuk membebaskan gadis dari ikatan orang tua serta keluarganya.

Gambar 1. Nyongkolan istilah sasak

Berdasarkan informasi dari narasumber tentang sejarah munculnya tradisi kawin lari (merariq) di pulau Lombok, paling tidak ada dua pandangan, yaitu: Pertama, orisinalitas (Keaslian) merariq. Kawin lari (merariq) dianggap sebagai budaya produk lokal dan merupakan ritual asli (genuine) dan leluhur masyarakat Sasak yang sudah dipraktikkan oleh masyarakat-sebelum datangnya kolonial Bali maupun kolonial Belanda. Pendapat ini didukung oleh sebagian masyarakat Sasak yang dipelopori oleh tokoh-tokoh adat, di antaranya adalah H.Lalu Azhar, mantan wagub NTB dan kini ketua Masyarakat Adat Sasak (MAS); dan peneliti Belanda, Nieuwenhuyzen mendukung pandangan ini. Menurut Nieuwenhuyzen, sebagaimana dikutip Tim Depdikbud, banyak adat Sasak yang memiliki persamaan dengan adat suku Bali, tetapi kebiasaan atau adat, khususnya perkawinan Sasak, adalah adat Sasak yang sebenarnya.
Kedua, akulturasi (Pencampuran) merariq. Kawin lari (merariq) dianggap budaya produk impor dan bukan asli (ungenuine) dari leluhur masyarakat Sasak serta tidak dipraktikkan masyarakat sebelum datangnya kolonial Bali. Pendapat ini didukung oleh sebagian masyarakat Sasak dan dipelopori oleh tokoh agama, Pada tahun 1955 di Bengkel Lombok Barat,Tuan Guru Haji Saleh Hambali menghapus, kawin lari (merariq) karena dianggap manifestasi hinduisme Bali dan tidak sesuai dengan Islam. Hal yang sama dapat dijumpai didesa yang menjadi basis kegiatan Islam di Lombok, seperti Pancor, Kelayu, dan lain-lain. Menurut John Ryan Bartholomew, praktik kawin lari dipinjam dari budaya Bali. Analisis antropologis historis yang dilakukan Clifford Geertz dalam bukunya Internal Convention in Bali (1973), Hildred Geertz dalam, tulisannya An Anthropology of Religion and Magic (1975), dan James Boon dalam bukunya, The Anthropological Romance of Bali (1977), seperti dikutip Bartolomew. memperkuat pandangan akulturasi budaya Bali dan Lombok dalam merariq. Solichin Salam menegaskan bahwa praktik kawin lari di Lombok merupakan pengaruh dari tradisi kasta (Golongan) dalam budaya Hindu Bali. Berdasarkan kedua argumen tentang sejarah kawin lari (merariq) di atas, tampak bahwa paham akulturasi merariq memiliki tingkat akurasi (Kecermatan) lebih valid.
Dalam konteks ini penulis lebih condong kepada pendapat kedua, yakni merariq ini dilatarbelakangi oleh pengaruh adat hindu-Bali. Sebagai bagian dari rekayasa sosial budaya hindu-Bali terhadap suku Sasak, dalam suku Sasak dikenal adanya strata sosial yang disebut triwangsa (3 Kasta). Strata sosial ini sudah jelas sama dengan pola hindu-Bali.

Tradisi merariq ini merupakan bagian dari kebudayaan. Kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat Lombok tidak bisa lepas dari dikotomi kebudayaan nusantara. Ada dua aliran utama yang mempengaruhi kebudayaan nusantara, yaitu tradisi kebudayaan Jawa yang dipengaruhl oleh filsafat Hindu-Budha dan tradisi kebudayaan Islam. Kedua aliran kebudayaan itu Nampak jelas pada kebudayaan orang Lombok. Golongan pertama, di pusat-pusat kota Mataram dan Cakranegara, terdapat masyarakat orang Bali, penganut ajaran Hindu-Bali sebagai sinkretis (Keseimbangan) Hindu-Budha. Golongan kedua, sebagian besar dari penduduk Lombok, beragama Islam dan peri-kehidupan serta tatanan sosial budayanya dipengaruhi oleh agama tersebut. Mereka sebagian besar adalah orang Sasak.
Merariq sebagai sebuah tradisi yang biasa berlaku pada suku Sasak di Lombok ini memiliki logika tersendiri yang unik. Bagi masyarkat Sasak, merariq berarti mempertahankan harga diri dan menggambarkan sikap kejantanan seorang pria Sasak, karena ia berhasil mengambil [melarikan] seorang gadis pujaan hatinya. Sementara pada sisi lain, bagi orang tua gadis yang dilarikan juga cenderung enggan, kalau tidak dikatakan gengsi, untuk memberikan anaknya begitu saja jika diminta secara biasa [konvensional (Kesepakatan)], karena mereka beranggapan bahwa anak gadisnya adalah sesuatu yang berharga, jika diminta secara biasa, maka dianggap seperti meminta barang yang tidak berharga. Ada ungkapan yang biasa diucapkan dalam bahasa Sasak: Ara’m ngendeng anak manok baen [seperti meminta anak ayam saja]. Jadi dalam konteks ini, merariq dipahami sebagai sebuah cara untuk melakukan prosesi pernikahan, di samping cara untuk keluar dari konflik.
2.      Prinsip Dasar Tradisi Merari’
         



            







Gambar 2. Nyongkolan diiringi gendang beleq
                                  tradisional-lombok.html
Bedasarkan penelitian M. Nur Yasin setidaknya ada empat prinsip dasar yang terkandung dalam praktik kawin lari (merari) di pulau Lombok. Pertama, prestise (wibawa) keluarga perempuan. Kawin lari (merari’) dipahami dan diyakini sebagai bentuk kehormatan atas harkat dan martabat keluarga perempuan. Atas dasar keyakinan ini, seorang gadis yang dilarikan sama sekali tidak dianggap sebagai sebuah wanprestasi (pelanggaran sepihak) oleh keluarga lelaki atas keluarga perempuan, tetapi justru dianggap sebagai prestasi keluarga perempuan. Seorang gadis yang dilarikan merasa dianggap memiliki keistimewaan tertentu, sehingga menarik hati lelaki. Ada anggapan yang mengakar kuat dalam struktur memori dan mental masyarakat tertentu di Lombok bahwa dengan dilarikan berarti anak gadisnya memiliki nilai tawar ekonomis yang tinggi. Konsekuensinya, keluarga perempuan merasa terhina. jika perkawinan gadisnya tidak dengan kawin lari (merari’).
Kedua, superioritas (keunggulan, kelebihan), lelaki, inferioritas (Kerendahan) perempuan. Satu hal yang tidak bisa dihindarkan dari sebuah kawin lari (merari’) adalah seseorang lelaki tampak sangat kuat, menguasai, dan mampu menjinakkan kondisi sosial psikologis calon istri. Terlepas apakah dilakukan atas dasar suka sama suka dan telah direncanakan sebelumnya maupun belum direncana-kan sebelumnya, kawin lari (merari’) tetap memberikan legitimasi (pengesahan) yang kuat atas superioritas lelaki. Pada sisi lain menggambarkan sikap inferioritas (rasa rendah diri), yakni ketidakberdayaan kaum perempuan atas segala tindakan yang dialaminya. Kesemarakan kawin lari (merari’) memperoleh kontribusi yang besar dari sikap-sikap yang muncul dari kaum perempuan berupa rasa pasrah atau, bahkan menikmati suasana inferioritas tersebut.
Ketiga, egalitarianisme. Terjadinya kawin lari (merari’) menimbulkan rasa kebersamaan (egalitarian) di kalangan seluruh keluarga perempuan. Tidak hanya bapak, ibu, kakak, dan adik sang gadis, tetapi paman, bibi, dan seluruh sanak saudara dan handai taulan (Teman2) ikut terdorong sentimen (berlebihan) keluarganya untuk ikut menuntaskan keberlanjutan kawin lari (merari’). Kebersamaan melibatkan komunitas besar masyarakat di lingkungan setempat. Proses penuntasan kawin lari (merari’) tidak selalu berakhir dengan dilakukannya pernikahan, melainkan adakalanya berakhir dengan tidak terjadi pernikahan, karena tidak ada kesepakatan antara pihak keluarga calon suami dengan keluarga calon istri. Berbagai ritual, seperti mesejah, mbaitwah, sorongserah, dan sebagainya merupakan bukti konkrit kuatnya kebersamaan di antara keluarga dan komponen masyarakat.
Keempat, komersial (Nilai Tinggi). Terjadinya kawin lari hampir selalu berlanjut ke proses tawar menawar pisuke. Proses nego berkaitan dengan besaran pisuke yang biasanya dilakukan dalam acara mbait wall sangat kental dengan nuansa bisnis. Apapun alasannya, pertimbangan-pertimbangan dari aspek ekonomi yang paling kuat dan dominan sepanjang acara mbait wali. Ada indikasi (petunjuk) kuat bahwa seorang sudah merasa telah membesarkan anak gadisnya sejak kecil hingga dewasa. Untuk semua usaha tersebut telah menghabiskan dana yang tidak sedikit. Sebagai akibatnya muncul sikap dari orang tua yang ingin agar biaya membesarkan anak gadisnya tersebut memperoleh ganti dari calon menantunya. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan tingkat sosial anak dan orang tua semakin tinggi pula nilai tawar sang gadis. Sebaliknya, semakin rendah tingkat sosial dan tingkat pendidikan anak serta orang tua semakin rendah pula nilai ekonomis yang ditawarkan.
Komersialisasi (perbuatan menjadikan sesuatu sbg barang dagangan) kawin lari tampak kuat dan tertuntut untuk selalu dilaksanakan apabila suami istri yang menikah sama sama berasal dari suku Sasak. Jika salah satu di antara calon suami istri berasal dari luar suku Sasak, ada kecenderungan bahwa tuntutan dilaksanakannya komersialisasi agak melemah. Hal ini terjadi karena ternyata ada dialog peradaban, adat, dan budaya antara nilai-nilai yang dipegang masyarakat Sasak dengan nilai nilai yang dipegangi oleh masyarakat luar Sasak. Kontak dialogis budaya dan peradaban yang kemudian menghasilkan kompromi tersebut sama sekali tidak menggambarkan inferioritas budaya Sasak, tetapi justru sebaliknya, budaya dan peradaban Sasak memiliki kesiapan untuk berdampingan dengan budaya dan peradaban luar Sasak. Sikap ini menunjukkan adanya keterbukaan masyarakat Sasak bahwa mulai kebaikan dan kebenaran dari manapun asal dan datangnya bisa dipahami dan bahkan diimplementasikan (Pelaksanaan) oleh masyarakat Sasak.







DAFTAR PUSTAKA
Solichin Salam, Lombok Pulau Perawan: Sejaroh dan Masa Depannya (Jakarta: Kuning Mas, 1992), hlm. 22
Tim Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Nusa Tenggara Barat (Jakarta: Depdikbud, 1995), hlm. 33
Ibid, Rusyd, Bidayah al-Mujtahid Ha Nihayah al-Muqtashid, (Semarang: Usaha Keluarga, tt.) h. 11
John Ryan Bartholemew, Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), hlm. 203
Fath. Zakaria, Mozaik Budaya Orang Mataram, (Mataram: Yayasan Sumurmas Al-Hamidy, 1998), hlm. 10-11.






Subscribe to Our Blog Updates!




Share this article!

No comments:

Post a Comment

=(*_*)------------------------(^_^)=
:::::|berkomentar dengan sopan adalah akhlak kemulian|:::::

Return to top of page
Powered ByBlogger | Design by PARMAN | Blogger Template by UKK As-Siraaj