Pulau Lombok dengan ciri khas
tersendiri menjadi daya tarik setiap orang yang mendengar cerita tentangnya. Sepanjang
ruas jalan, perkampungan, dusun-dusun dan setiap wilayahnya bertebaran
masjid-masjid yang indah serta menawan. Pendatang terheran-heran dengan begitu
semangatnya masyarakat membangun masjid yang dimana ditempat lain masjid
memiliki jarak berjauhan. Inilah ciri khas Lombok dengan semangat berbudaya dan
religius. Uniknya lagi, ketika seorang laki-laki hendak ingin menikahi
perempuan maka prosesinya sangat menarik untuk ditelisik lebih jauh. Bagaimana tidak
?, laki-laki yang sudah siap menikah diperbolehkan oleh adat untuk menculik
anak gadis calon istrinya. Menculik disini artinya calon istri diajak ke rumah
keluarga calon suami dan tidak diantar pulang hingga larut malam (untuk jam tergantung kesepakatan
masing-masing desa) tampa ada unsur paksaan.
1. Merariq
dan Latar Sejarah Tradisinya
Dalam adat Sasak pernikahan sering
disebut dengan merariq. Secara etimologis kata merariq diambil dari kata
“lari”, berlari. Merariqan berarti melai’ang artinya melarikan. Kawin lari,
adalah sistem adat pernikahan yang masih diterapkan di Lombok. Kawin lari dalam bahasa Sasak
disebut merariq

Gambar
1. Nyongkolan istilah sasak
Berdasarkan informasi dari narasumber
tentang sejarah munculnya tradisi kawin lari (merariq) di pulau Lombok, paling
tidak ada dua pandangan, yaitu: Pertama, orisinalitas (Keaslian) merariq. Kawin
lari (merariq) dianggap sebagai budaya produk lokal dan merupakan ritual asli
(genuine) dan leluhur masyarakat Sasak yang sudah dipraktikkan oleh
masyarakat-sebelum datangnya kolonial Bali maupun kolonial Belanda. Pendapat
ini didukung oleh sebagian masyarakat Sasak yang dipelopori oleh tokoh-tokoh adat, di antaranya
adalah H.Lalu Azhar, mantan wagub NTB dan kini ketua Masyarakat Adat Sasak
(MAS); dan peneliti Belanda, Nieuwenhuyzen mendukung pandangan ini. Menurut Nieuwenhuyzen,
sebagaimana dikutip Tim Depdikbud, banyak adat Sasak yang memiliki persamaan
dengan adat suku Bali, tetapi kebiasaan atau adat, khususnya perkawinan Sasak,
adalah adat Sasak yang sebenarnya.
Kedua, akulturasi (Pencampuran) merariq.
Kawin lari (merariq) dianggap budaya produk impor dan bukan asli (ungenuine)
dari leluhur masyarakat Sasak serta tidak dipraktikkan masyarakat sebelum
datangnya kolonial Bali. Pendapat ini didukung oleh sebagian masyarakat Sasak
dan dipelopori oleh tokoh agama, Pada tahun 1955 di Bengkel Lombok Barat,Tuan
Guru Haji Saleh Hambali menghapus, kawin lari (merariq) karena dianggap
manifestasi hinduisme Bali dan tidak sesuai dengan Islam. Hal yang sama dapat
dijumpai didesa yang menjadi basis kegiatan Islam di Lombok, seperti Pancor,
Kelayu, dan lain-lain. Menurut John Ryan Bartholomew, praktik kawin lari
dipinjam dari budaya Bali. Analisis antropologis historis yang dilakukan
Clifford Geertz dalam bukunya Internal Convention in Bali (1973), Hildred
Geertz dalam, tulisannya An Anthropology of Religion and Magic (1975), dan
James Boon dalam bukunya, The Anthropological Romance of Bali (1977), seperti
dikutip Bartolomew. memperkuat pandangan akulturasi budaya Bali dan Lombok
dalam merariq. Solichin Salam menegaskan bahwa praktik kawin lari di Lombok
merupakan pengaruh dari tradisi kasta (Golongan) dalam budaya Hindu Bali. Berdasarkan
kedua argumen tentang sejarah kawin lari (merariq) di atas, tampak bahwa paham
akulturasi merariq memiliki tingkat akurasi (Kecermatan) lebih valid.
Dalam konteks ini penulis lebih condong
kepada pendapat kedua, yakni merariq ini dilatarbelakangi oleh pengaruh adat
hindu-Bali. Sebagai bagian dari rekayasa sosial budaya hindu-Bali terhadap suku
Sasak, dalam suku Sasak dikenal adanya strata sosial yang disebut triwangsa (3 Kasta). Strata sosial
ini sudah jelas sama dengan pola hindu-Bali.
Tradisi merariq ini merupakan bagian
dari kebudayaan. Kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat Lombok tidak bisa
lepas dari dikotomi kebudayaan nusantara. Ada dua aliran utama yang
mempengaruhi kebudayaan nusantara, yaitu tradisi kebudayaan Jawa yang
dipengaruhl oleh filsafat Hindu-Budha dan tradisi kebudayaan Islam. Kedua
aliran kebudayaan itu Nampak jelas pada kebudayaan orang Lombok. Golongan
pertama, di pusat-pusat kota Mataram dan Cakranegara, terdapat masyarakat orang
Bali, penganut ajaran Hindu-Bali sebagai sinkretis (Keseimbangan)
Hindu-Budha. Golongan kedua, sebagian besar dari penduduk Lombok, beragama
Islam dan peri-kehidupan serta tatanan sosial budayanya dipengaruhi oleh agama
tersebut. Mereka sebagian besar adalah orang Sasak.
Merariq sebagai sebuah tradisi yang
biasa berlaku pada suku Sasak di Lombok ini memiliki logika tersendiri yang
unik. Bagi masyarkat Sasak, merariq berarti mempertahankan harga diri dan
menggambarkan sikap kejantanan seorang pria Sasak, karena ia berhasil mengambil
[melarikan] seorang gadis pujaan hatinya. Sementara pada sisi lain, bagi orang
tua gadis yang dilarikan juga cenderung enggan, kalau tidak dikatakan gengsi,
untuk memberikan anaknya begitu saja jika diminta secara biasa [konvensional (Kesepakatan)], karena
mereka beranggapan bahwa anak gadisnya adalah sesuatu yang berharga, jika
diminta secara biasa, maka dianggap seperti meminta barang yang tidak berharga.
Ada ungkapan yang biasa diucapkan dalam bahasa Sasak: Ara’m ngendeng anak manok
baen [seperti meminta anak ayam saja]. Jadi dalam konteks ini, merariq dipahami
sebagai sebuah cara untuk melakukan prosesi pernikahan, di samping cara untuk
keluar dari konflik.
2.
Prinsip Dasar Tradisi
Merari’

Gambar 2. Nyongkolan diiringi gendang beleq
Bedasarkan penelitian M. Nur Yasin
setidaknya ada empat prinsip dasar yang terkandung dalam praktik kawin lari
(merari) di pulau Lombok. Pertama, prestise (wibawa) keluarga perempuan. Kawin lari (merari’)
dipahami dan diyakini sebagai bentuk kehormatan atas harkat dan martabat
keluarga perempuan. Atas dasar keyakinan ini, seorang gadis yang dilarikan sama
sekali tidak dianggap sebagai sebuah wanprestasi (pelanggaran sepihak) oleh
keluarga lelaki atas keluarga perempuan, tetapi justru dianggap sebagai
prestasi keluarga perempuan. Seorang gadis yang dilarikan merasa dianggap
memiliki keistimewaan tertentu, sehingga menarik hati lelaki. Ada anggapan yang
mengakar kuat dalam struktur memori dan mental masyarakat tertentu di Lombok
bahwa dengan dilarikan berarti anak gadisnya memiliki nilai tawar ekonomis yang
tinggi. Konsekuensinya, keluarga perempuan merasa terhina. jika perkawinan
gadisnya tidak dengan kawin lari (merari’).
Kedua, superioritas (keunggulan, kelebihan), lelaki, inferioritas (Kerendahan) perempuan.
Satu hal yang tidak bisa dihindarkan dari sebuah kawin lari (merari’) adalah seseorang
lelaki tampak sangat kuat, menguasai, dan mampu menjinakkan kondisi sosial
psikologis calon istri. Terlepas apakah dilakukan atas dasar suka sama suka dan telah
direncanakan sebelumnya maupun belum direncana-kan sebelumnya, kawin lari
(merari’) tetap memberikan legitimasi (pengesahan)
yang kuat atas superioritas lelaki. Pada sisi lain menggambarkan sikap
inferioritas (rasa rendah diri), yakni
ketidakberdayaan kaum perempuan atas segala tindakan yang dialaminya.
Kesemarakan kawin lari (merari’) memperoleh kontribusi yang besar dari sikap-sikap yang muncul dari
kaum perempuan berupa rasa pasrah atau, bahkan menikmati suasana inferioritas
tersebut.
Ketiga, egalitarianisme. Terjadinya kawin
lari (merari’) menimbulkan rasa kebersamaan (egalitarian) di kalangan seluruh
keluarga perempuan. Tidak hanya bapak, ibu, kakak, dan adik sang gadis, tetapi
paman, bibi, dan seluruh sanak saudara dan handai taulan (Teman2) ikut terdorong
sentimen (berlebihan) keluarganya untuk ikut
menuntaskan keberlanjutan kawin lari (merari’). Kebersamaan melibatkan
komunitas besar masyarakat di lingkungan setempat. Proses penuntasan kawin lari
(merari’) tidak selalu berakhir dengan dilakukannya pernikahan, melainkan
adakalanya berakhir dengan tidak terjadi pernikahan, karena tidak ada
kesepakatan antara pihak keluarga calon suami dengan keluarga calon istri.
Berbagai ritual, seperti mesejah, mbaitwah, sorongserah, dan sebagainya
merupakan bukti konkrit kuatnya kebersamaan di antara keluarga dan komponen
masyarakat.
Keempat, komersial (Nilai Tinggi).
Terjadinya kawin lari hampir selalu berlanjut ke proses tawar menawar pisuke.
Proses nego berkaitan dengan besaran pisuke yang biasanya dilakukan dalam acara
mbait wall sangat kental dengan nuansa bisnis. Apapun alasannya,
pertimbangan-pertimbangan dari aspek ekonomi yang paling kuat dan dominan
sepanjang acara mbait wali. Ada indikasi (petunjuk)
kuat bahwa seorang sudah merasa telah membesarkan anak gadisnya sejak kecil
hingga dewasa. Untuk semua usaha tersebut telah menghabiskan dana yang tidak
sedikit. Sebagai akibatnya muncul sikap dari orang tua yang ingin agar biaya
membesarkan anak gadisnya tersebut memperoleh ganti dari calon menantunya. Semakin
tinggi tingkat pendidikan dan tingkat sosial anak dan orang tua semakin tinggi
pula nilai tawar sang gadis. Sebaliknya, semakin rendah tingkat sosial dan
tingkat pendidikan anak serta orang tua semakin rendah pula nilai ekonomis yang
ditawarkan.
Komersialisasi (perbuatan
menjadikan sesuatu sbg barang dagangan) kawin lari tampak kuat dan
tertuntut untuk selalu dilaksanakan apabila suami istri yang menikah sama sama
berasal dari suku Sasak. Jika salah satu di antara calon suami istri berasal
dari luar suku Sasak, ada kecenderungan bahwa tuntutan dilaksanakannya
komersialisasi agak melemah. Hal ini terjadi karena ternyata ada dialog
peradaban, adat, dan budaya antara nilai-nilai yang dipegang masyarakat Sasak dengan nilai
nilai yang dipegangi oleh masyarakat luar Sasak. Kontak dialogis budaya dan
peradaban yang kemudian menghasilkan kompromi tersebut sama sekali tidak
menggambarkan inferioritas budaya Sasak, tetapi justru sebaliknya, budaya dan
peradaban Sasak memiliki kesiapan untuk berdampingan dengan budaya dan
peradaban luar Sasak. Sikap ini menunjukkan adanya keterbukaan masyarakat Sasak
bahwa mulai kebaikan dan kebenaran dari manapun asal dan datangnya bisa
dipahami dan bahkan diimplementasikan (Pelaksanaan) oleh masyarakat Sasak.
DAFTAR PUSTAKA
Solichin Salam, Lombok Pulau Perawan:
Sejaroh dan Masa Depannya (Jakarta: Kuning Mas, 1992), hlm. 22
Tim Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Nusa Tenggara Barat (Jakarta:
Depdikbud, 1995), hlm. 33
Ibid, Rusyd, Bidayah al-Mujtahid Ha
Nihayah al-Muqtashid, (Semarang: Usaha Keluarga, tt.) h. 11
John Ryan Bartholemew, Alif Lam Mim:
Kearifan Masyarakat Sasak, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), hlm. 203
Fath. Zakaria, Mozaik Budaya Orang
Mataram, (Mataram: Yayasan Sumurmas Al-Hamidy, 1998), hlm. 10-11.
No comments:
Post a Comment
=(*_*)------------------------(^_^)=
:::::|berkomentar dengan sopan adalah akhlak kemulian|:::::